Kamis, 31 Juli 2014

ringkasan buku "sejarah pemikiran reformasi"


                       "Sejarah Pemikiran Reformasi"

Secara ringkas sebenarnya McGrath memberikan tiga kata tujuan dari buku ini yaitu: “memperkenalkan”, “menjelaskan” dan “mengkontekstualisasikan”. Buku ini bertujuan: pertama, memperkenalkan ide-ide atau paham-paham yang penting dari Reformasi Eropa selama bagian pertama abad keenam belas. Kedua, menjelaskan ide-ide atau paham-paham tentang teologi Kristen yang melandasi Reformasi seperti “pembenaran oleh iman” dan “predestinasi”. Ketiga, mengkontekstualisasikan ide-ide atau paham-paham Reformasi dengan menempatkan ide-ide atau paham-paham tersebut dalam konteks intelektual, sosial, dan politik yang sebenarnya seperti humanisme dan skolastik, ideologi-ideologi keagamaan alternatif dari Reformasi radikal dan Katolik Roma dan realitas-realitas politik dan sosial dari kota-kota kerajaan pada awal abad keenam belas.
Buku ini sangat menolong setiap pembaca untuk memahami sejarah pemikiran Reformasi. Jika membaca buku ini, maka kita akan segera akan dibimbing masuk ke ide-ide Reformasi dan pengaruhnya bagi perkembangan sejarah itu sendiri. McGrath sangat menolong pembaca untuk lebih mudah memahami apa yang menjadi pokok-pokok persoalan iman yang terjadi selama masa Reformasi. Pokok-pokok yang dibahas McGrath dalam buku ini merupakan inti dari pemikiran Reformasi yang terus menerus digali dan dikembangkan hingga saat ini.
McGrath sendiri mengakui bahwa pembahasannya dalam buku ini bukan bertujuan untuk membahas pemikiran seluruh para reformator dari segala lapisan. McGrath lebih memfokuskan pembahasannya tentang pemikiran para reformator magisterial seperti Luther, Zwingli, Bucer dan Calvin. Seluruh uraian yang dipaparkan McGrath dalam bukunya ini lebih mengarah pada pemikiran  kepada para reformator tadi.
Buku ini memiliki kekhususannya sendiri sebab di dalam setiap akhir uraian setiap topik selalu dirujuk buku-buku bacaan lanjutan. Kekhususan lainnya adalah bahwa dalam buku ini dilampirkan banyak hal yang berkaitan dengan topik-topik yang dibahas dalam buku ini. Jika melihat pemikiran para tokoh reformator khususnya reformator magisterial ini, maka banyak hal yang patut disyukuri karena pemikiran mereka bisa mengubah paradigma dunia saat itu menuju ke pembaruan peradaban akal dan budi manusia. Manusia semakin menyadari dirinya di hadapan Tuhan sehingga semakin bertanggung jawab secara pribadi kepada Tuhan.
Pemikiran tokoh reformator magisterial ini sebenarnya hingga sekarang “belumlah” berakhir. Namun pemikiran mereka ini masih terus digumuli dan dikembangkan oleh para pengikut-pengikutnya hingga kini. Perdebatan-perdebatan teologi yang mereka mulai dulu sejak Abad Pertengahan hingga kini masih hidup di berbagai lapisan baik di kalangan Kontra-Reformasi (Katolik), Reformasi Magisterial dan Reformasi Radikal. Ada perdebatan yang membawa kebaikan, namun ada juga perdebatan yang membawa pemisahan. Hal yang sangat baik dari gerakan reformasi magisterial ini ialah penerjemahan Alkitab.
Penerjemahan Alkitab ini sangat menentukan perkembangan kekristenan selanjutnya. Mengapa? Pertama, dengan terjemahan itu maka untuk pertamakalinya “bahasa rakyat” (vernacular language) mampu menjadi wahana pergulatan iman, bahkan sarana yang melaluinya Sabda Allah menyapa manusia. Kedua, terjemahan itu sekaligus meruntuhkan dominasi bahasa Latin, yakni bahasa elitis, bahasa kaum terdidik dan bahasa birokrat gerejawi (klerus). Ketiga, dengan runtuhnya bahasa Latin sebagai “bahasa bersama yang dipaksakan”, maka terbuka lebar-lebar ruang bagi pluralisasi bahasa, dan dengannya, pluralisasi keyakinan. Keempat, pluralisasi tersebut bertemu dengan arus zaman dan menjadi impetus kuat bagi terbentuknya nation-states, negara-bangsa negara-bangsa yang terlepas dari imperium Takhta Suci. Kelima, runtuhnya hierarkhi gerejawi yang selama ini memayungi dan mengontrol kehidupan beragama, termasuk kehidupan bermasyarakat.
Perkembangan yang paling sungguh luar biasa seperti yang dipaparkan oleh McGrath adalah bahwa reformasi magisterial ini mampu mengubah paradigma dunia dari “menjauhi dunia” menjadi “menerima dunia”, kemudian lahirlah etika kerja Protestantisme, kapitalisme, penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia, dan munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alam. Perkembangan ini masih terasa hingga saat ini. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah semangat kapitalisme Protestantisme ini masih berpihak kepada kerakyatan atau menjadi musuh masyarakat. Sebab banyak kapitalis yang akhirnya tidak berpihak kepada kerakyatan yang menindas rakyat kecil dan yang terpinggirkan. Atau apakah perkembangan ilmu-ilmu teknologi saat ini semakin memperbaiki moral manusia, atau malah sebaliknya merusak iman dan moral manusia itu sendiri.
Memang jika dikaji lebih dalam, setiap golongan dari reformasi ini pengajarannya selalu berlandaskan pada Kitab Suci. Mereka sama-sama menunjukkan argumen-argumennya, bahwa masing-masing golongan lebih alkitabiah dan yang lain tidak alkitabiah. Masing-masing golongan merasa diri “paling benar” yang sesuai dengan Kitab Suci. Padahal Kitab Suci semua golongan reformasi ini adalah sama yaitu ALKITAB. Tetapi mengapa masing-masing saling ngotot dan berpegang teguh pada pendirian dan pemahaman masing-masing? Jawaban sederhananya adalah karena iman. Masing-masing golongan mengimani bahwa ajaran mereka yang lebih benar dan ajaran orang lain tidak benar (sesat). Sepanjang masing-masing golongan masih “merasa benar”, maka sebenarnya tidak akan tercapai suatu pemahaman yang sama akan kebenaran itu sendiri. Oleh sebab itu, maka solusi terbaik dalam hal ini adalah agar setiap golongan reformasi ini saling memegang imannya dan jangan saling menghujat. Pegang iman masing-masing, sebab Tuhan Yesus berkata bahwa manusia diselamatkan karena imannya (bnd. Rm. 3:28).
Jika dilihat perkembangannya di Indonesia, maka setiap golongan dari reformasi ini ada di berbagai daerah di Nusantara ini walaupun tidak secara merata. Namun tidak bisa dikatakan bahwa golongan reformasi tertentu mengklaim diri menguasai sebuah daerah di Nusantara ini. Misalnya, Katolik tidak bisa mengklaim diri sebagai yang paling mendominasi di daerah timur Indonesia, sebab di daerah ini juga golongan reformasi magisterial dan radikal ada dan berada di sana dengan jumlah yang signifikan. Demikian sebaliknya, golongan reformasi magisterial dan radikal tidak bisa mengklaim diri lebih dominan di Indonesia bagian barat, sebab di bagian barat ini juga Katolik memiliki jumlah umat yang banyak juga.
Patut disyukuri bahwa, di Indonesia kendati golongan reformasi ini hidup membaur dan berdampingan di Indonesia, namun di antara golongan yang berbeda ini “tidak pernah” terjadi benturan fisik. Perbedaan di dalam pemahaman iman tidak menjadikan rasa persaudaraan hilang dan rusak. Perbedaan keyakinan harus dilihat sebagai kekayaan iman yang saling mengisi dan mendukung sehingga Kerajaan Allah semakin luas diberitakan ke seluruh dunia ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar