"Sejarah Pemikiran Reformasi"
Secara ringkas sebenarnya McGrath
memberikan tiga kata tujuan dari buku ini yaitu: “memperkenalkan”,
“menjelaskan” dan “mengkontekstualisasikan”. Buku ini bertujuan: pertama,
memperkenalkan ide-ide atau paham-paham yang penting dari Reformasi Eropa selama
bagian pertama abad keenam belas. Kedua, menjelaskan ide-ide atau paham-paham
tentang teologi Kristen yang melandasi Reformasi seperti “pembenaran oleh iman”
dan “predestinasi”. Ketiga, mengkontekstualisasikan ide-ide atau paham-paham
Reformasi dengan menempatkan ide-ide atau paham-paham tersebut dalam konteks
intelektual, sosial, dan politik yang sebenarnya seperti humanisme dan
skolastik, ideologi-ideologi keagamaan alternatif dari Reformasi radikal dan
Katolik Roma dan realitas-realitas politik dan sosial dari kota-kota kerajaan
pada awal abad keenam belas.
Buku ini sangat menolong setiap pembaca
untuk memahami sejarah pemikiran Reformasi. Jika membaca buku ini, maka kita
akan segera akan dibimbing masuk ke ide-ide Reformasi dan pengaruhnya bagi
perkembangan sejarah itu sendiri. McGrath sangat menolong pembaca untuk lebih mudah
memahami apa yang menjadi pokok-pokok persoalan iman yang terjadi selama masa
Reformasi. Pokok-pokok yang dibahas McGrath dalam buku ini merupakan inti dari
pemikiran Reformasi yang terus menerus digali dan dikembangkan hingga saat ini.
McGrath sendiri mengakui bahwa
pembahasannya dalam buku ini bukan bertujuan untuk membahas pemikiran seluruh
para reformator dari segala lapisan. McGrath lebih memfokuskan pembahasannya
tentang pemikiran para reformator magisterial seperti Luther, Zwingli, Bucer
dan Calvin. Seluruh uraian yang dipaparkan McGrath dalam bukunya ini lebih
mengarah pada pemikiran kepada para
reformator tadi.
Buku ini memiliki kekhususannya sendiri
sebab di dalam setiap akhir uraian setiap topik selalu dirujuk buku-buku bacaan
lanjutan. Kekhususan lainnya adalah bahwa dalam buku ini dilampirkan banyak hal
yang berkaitan dengan topik-topik yang dibahas dalam buku ini. Jika melihat
pemikiran para tokoh reformator khususnya reformator magisterial ini, maka
banyak hal yang patut disyukuri karena pemikiran mereka bisa mengubah paradigma
dunia saat itu menuju ke pembaruan peradaban akal dan budi manusia. Manusia
semakin menyadari dirinya di hadapan Tuhan sehingga semakin bertanggung jawab
secara pribadi kepada Tuhan.
Pemikiran tokoh reformator magisterial
ini sebenarnya hingga sekarang “belumlah” berakhir. Namun pemikiran mereka ini
masih terus digumuli dan dikembangkan oleh para pengikut-pengikutnya hingga
kini. Perdebatan-perdebatan teologi yang mereka mulai dulu sejak Abad
Pertengahan hingga kini masih hidup di berbagai lapisan baik di kalangan
Kontra-Reformasi (Katolik), Reformasi Magisterial dan Reformasi Radikal. Ada
perdebatan yang membawa kebaikan, namun ada juga perdebatan yang membawa
pemisahan. Hal yang sangat baik dari gerakan reformasi magisterial ini ialah
penerjemahan Alkitab.
Penerjemahan Alkitab ini sangat
menentukan perkembangan kekristenan selanjutnya. Mengapa? Pertama, dengan
terjemahan itu maka untuk pertamakalinya “bahasa rakyat” (vernacular language)
mampu menjadi wahana pergulatan iman, bahkan sarana yang melaluinya Sabda Allah
menyapa manusia. Kedua, terjemahan itu sekaligus meruntuhkan dominasi bahasa
Latin, yakni bahasa elitis, bahasa kaum terdidik dan bahasa birokrat gerejawi
(klerus). Ketiga, dengan runtuhnya bahasa Latin sebagai “bahasa bersama yang
dipaksakan”, maka terbuka lebar-lebar ruang bagi pluralisasi bahasa, dan
dengannya, pluralisasi keyakinan. Keempat, pluralisasi tersebut bertemu dengan
arus zaman dan menjadi impetus kuat bagi terbentuknya nation-states,
negara-bangsa negara-bangsa yang terlepas dari imperium Takhta Suci. Kelima,
runtuhnya hierarkhi gerejawi yang selama ini memayungi dan mengontrol kehidupan
beragama, termasuk kehidupan bermasyarakat.
Perkembangan yang paling sungguh luar
biasa seperti yang dipaparkan oleh McGrath adalah bahwa reformasi magisterial
ini mampu mengubah paradigma dunia dari “menjauhi dunia” menjadi “menerima
dunia”, kemudian lahirlah etika kerja Protestantisme, kapitalisme, penghargaan
terhadap hak-hak azasi manusia, dan munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Perkembangan ini masih terasa hingga saat ini. Namun yang menjadi pertanyaan
sekarang adalah apakah semangat kapitalisme Protestantisme ini masih berpihak
kepada kerakyatan atau menjadi musuh masyarakat. Sebab banyak kapitalis yang
akhirnya tidak berpihak kepada kerakyatan yang menindas rakyat kecil dan yang
terpinggirkan. Atau apakah perkembangan ilmu-ilmu teknologi saat ini semakin
memperbaiki moral manusia, atau malah sebaliknya merusak iman dan moral manusia
itu sendiri.
Memang jika dikaji lebih dalam, setiap
golongan dari reformasi ini pengajarannya selalu berlandaskan pada Kitab Suci.
Mereka sama-sama menunjukkan argumen-argumennya, bahwa masing-masing golongan
lebih alkitabiah dan yang lain tidak alkitabiah. Masing-masing golongan merasa
diri “paling benar” yang sesuai dengan Kitab Suci. Padahal Kitab Suci semua
golongan reformasi ini adalah sama yaitu ALKITAB. Tetapi mengapa masing-masing
saling ngotot dan berpegang teguh pada pendirian dan pemahaman masing-masing?
Jawaban sederhananya adalah karena iman. Masing-masing golongan mengimani bahwa
ajaran mereka yang lebih benar dan ajaran orang lain tidak benar (sesat).
Sepanjang masing-masing golongan masih “merasa benar”, maka sebenarnya tidak
akan tercapai suatu pemahaman yang sama akan kebenaran itu sendiri. Oleh sebab
itu, maka solusi terbaik dalam hal ini adalah agar setiap golongan reformasi
ini saling memegang imannya dan jangan saling menghujat. Pegang iman
masing-masing, sebab Tuhan Yesus berkata bahwa manusia diselamatkan karena
imannya (bnd. Rm. 3:28).
Jika dilihat perkembangannya di
Indonesia, maka setiap golongan dari reformasi ini ada di berbagai daerah di
Nusantara ini walaupun tidak secara merata. Namun tidak bisa dikatakan bahwa
golongan reformasi tertentu mengklaim diri menguasai sebuah daerah di Nusantara
ini. Misalnya, Katolik tidak bisa mengklaim diri sebagai yang paling
mendominasi di daerah timur Indonesia, sebab di daerah ini juga golongan
reformasi magisterial dan radikal ada dan berada di sana dengan jumlah yang
signifikan. Demikian sebaliknya, golongan reformasi magisterial dan radikal
tidak bisa mengklaim diri lebih dominan di Indonesia bagian barat, sebab di
bagian barat ini juga Katolik memiliki jumlah umat yang banyak juga.
Patut disyukuri bahwa, di Indonesia
kendati golongan reformasi ini hidup membaur dan berdampingan di Indonesia,
namun di antara golongan yang berbeda ini “tidak pernah” terjadi benturan
fisik. Perbedaan di dalam pemahaman iman tidak menjadikan rasa persaudaraan
hilang dan rusak. Perbedaan keyakinan harus dilihat sebagai kekayaan iman yang
saling mengisi dan mendukung sehingga Kerajaan Allah semakin luas diberitakan
ke seluruh dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar